Shadow

Indonesia Perkuat Kemitraan Dengan AS dengan Menjaga Dialog Terbuka

Truk peti kemas melintas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (18/12/2018). Bank Indonesia mendorong berlanjutnya insentif dan upaya maksimal untuk meningkatkan nilai ekspor menyusul membesarnya defisit neraca perdagangan November 2018 menjadi sebesar 2,05 miliar dolar Amerika Serikat yang merupakan defisit tertinggi sepanjang tahun. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

Klik Jakarta – Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengawali diplomasi perdagangan Indonesia tahun ini dengan melakukan kunjungan ke Amerika Serikat, pada 14-19 Januari 2019. Mendag merasa perlu berkunjung ke negara itu demi menangkap peluang agar ekspor terdongkrak lagi tahun ini.

Wajar saja, Mendag sebagai komandan yang bertanggung jawab soal nasib neraca perdagangan Indonesia, memang perlu bekerja lebih keras. Bayangkan sepanjang 2018, negara ini mengalami defisit neraca perdagangan USD8,57 miliar.

Namun di tengah-tengah defisit neraca perdagangan itu, ekspor ke Amerika Serikat masih cukup menjanjikan, bahkan tercatat mengalami surplus bagi Indonesia senilai USD8,56 miliar. Ekspor tercatat mencapai USD17,67 miliar.

Nilai ekspor sebesar itu memberikan kontribusi pangsa mencapai 10,87% dari total ekspor. Dari sisi impor nonmigas, impor Indonesia dari AS tercatat sebesar USD9,11 miliar. Negeri Paman Sam bersama Cina dan Jepang menjadi tiga negara tujuan ekspor utama Indonesia dengan kontribusi 35,90% dari total ekspor.

Di awal 2019 rupanya bukan menjadi awal untuk bersenang-senang. Pekerjaan rumah ternyata sudah ada di depan mata, yakni peluang memperbesar pangsa ekspor ke AS di tengah-tengah masih berlangsungnya perang dagang antara negara itu dan Cina.

Indonesia bisa menjadi teman baik bagi Amerika Serikat dan mengisi pasar yang ditinggalkan Cina. Peluang itu terbuka setelah Pemerintah Donald J Trump berencana melakukan evaluasi terhadap fasilitas generalized system of preferences (GSP). Dan, rencananya rekomendasi soal fasilitas GSP yang baru itu akan ditandatangani Trump tahun ini juga.

Dalam konteks pemberian fasilitas GSP ini, Indonesia bersama empat negara lainnya merupakan negara yang menikmati manfaat terbesar dari GSP AS. Selain Indonesia, negara lainnya adalah India, Thailand, Brasil, dan Afrika Selatan mulai 2011.

Persoalannya, sejak April 2018 AS mulai menyuarakan untuk mempertimbangkan ulang pemberian fasilitas ke Indonesia dan India. Dasar yang menjadi pertimbangan itu terutama berkaitan dengan sudut pandang akses produk mereka di dua negara tersebut. Dan, ironisnya kondisi neraca dagang Indonesia dan AS saat ini tidak menguntungkan bagi Negara Paman Sam tersebut.

Ada 124 produk ekspor asal Indonesia, seperti tekstil, plywood, kapas, dan beberapa produk hasil perikanan seperti udang dan kepiting, yang menerima fasilitas GSP Amerika Serikat.

Sangat Berkepentingan

Tentu Indonesia sangat berkepentingan agar fasilitas GSP itu tidak dicabut. Bayangkan negara ini harus membayar sekitar USD1,8 miliar  atau setara dengan Rp25 triliun per tahun jika Indonesia dicoret dari daftar negara penerima GSP.

GSP adalah kebijakan perdagangan suatu negara yang memberikan pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Pemberian fasilitas itu merupakan kebijakan perdagangan sepihak (unilateral) yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima.

Negara pemilik program GSP bisa bebas menentukan negara mana dan produk apa yang akan diberikan pemotongan bea masuk impor. Selain dari Amerika Serikat, dalam konteks GSP, Indonesia juga menerima fasilitas perdagangan itu dari Uni Eropa dan Australia.

Apa yang melandasi satu negara memberikan fasilitas GSP? Satu negara memberikan fasilitas GSP merupakan hak mutlak negara yang bersangkutan. Biasanya negara tersebut memberikan fasilitas itu karena faktor human right, labor right, atau IPR (intellectual Property Right).

Mereka bahkan juga bisa menggunakan parameter competitive need limitations (CNL). Artinya, satu produk negara penerima fasilitas GSP dinilai sudah melampaui kriteria CNL sehingga digraduasi atau dikeluarkan dari cakupan fasilitas tersebut.

Tak dipungkiri, relasi dagang AS dan Indonesia termasuk pemberian fasilitas GSP tidak terlepas dari konteks politik. Misalnya bila dinilai tingkat human right Indonesia buruk, tentu akan berpengaruh terhadap pemberian fasilitas GSP itu. Begitu juga masalah labour right atau IPR.

Artinya dicabut atau tidaknya fasilitas itu sangat dipengaruhi oleh keputusan politik yang sangat subyektif negara pemberi fasilitas GSP. Sepanjang Indonesia dinilai baik dalam pelaksanaan krtiteria yang ditentukan, bisa jadi akan lolos dari graduasi penerima GSP.

Terlepas dari semua itu, inisiatif Mendag untuk melakukan dialog dengan AS patut diapreasiasi di tengah-tengah defisit nercara perdagangan negara ini. “Kunjungan kerja sekaligus misi dagang ini dilakukan karena AS merupakan salah satu negara terpenting tujuan ekspor Indonesia dan sumber investasi asing saat ini.

Enggar berharap “melalui kunjungan kerja ini, Indonesia terus menjaga dialog terbuka untuk memperkuat kemitraan perdagangan dan investasi dengan AS,” jelas Mendag dalam siaran pers yang dilansir, Kamis (17/1/2019).

Delegasi bisnis Indonesia yang menyertai kunjungan kerja Mendag kali ini terdiri dari para pengusaha yang berminat mengembangkan ekspor dan impor dengan AS, serta melakukan investasi baik di AS maupun di Indonesia.

Hal ini merupakan kelanjutan dari kunjungan kerja pada Juli 2018, di mana Mendag RI dan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross antara lain sepakat untuk meningkatkan perdagangan dua arah dari USD28 milliar saat ini menjadi USD50 milliar.

Selain itu, Mendag juga bertemu dengan Perwakilan Perdagangan AS (USTR) Duta Besar Robert E Lighthizer di kantor USTR di Washington DC, AS. Pada pertemuan tersebut antara lain dibahas perkembangan isu-isu terkait Generalized System of Preferences (GSP) yang saat ini tengah ditinjau kembali oleh Pemerintah AS.

Mendag menilai pertemuan dengan USTR cukup penting terutama berkaitan dengan isu program GSP. “Bagi Indonesia sesungguhnya menguntungkan kedua negara karena produk ekspor Indonesia yang mendapatkan fasilitas GSP tersebut memang dibutuhkan oleh pelaku usaha di AS dalam proses produksi mereka sehingga kompetitif,” tutur Mendag.

Harapan yang sama juga diungkapkan Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian. “Kerja sama ekonomi Indonesia—AS selama ini bersifat komplementer untuk saling memenuhi kebutuhan pasar dan sektor manufaktur masing-masing negara. Bahkan, dengan adanya era ekonomi digital baru dari AS, juga ikut membuka peluang pengembangan di Indonesia.”

Harapannnya, kedua negara bisa mencapai kesepakatan, positif dan saling menguntungkan berkaitan dengan fasilitas GSP tersebut. Sementara itu, fasilitas GSP saat ini masih tetap diberikan kepada Indonesia.

Wajar saja Indonesia berharap demikian dan berupaya maksimal agar pengusaha tak harus membayar bea masuk ekspor ke AS. Namun, penulis menyakini relasi hubungan satu negara dengan negara lainnya itu sifatnya dinamis. Tidak ada yang pasti.

Semuanya bermuara bagaimana menguntungkan negara yang bersangkutan, atau minimal menguntungkan kedua belah pihak. Indonesia tentu berharap keputusan yang akan diambil Pemerintah AS jangan sampai merugikan negara yang kini tengah berusaha mengembalikan neraca dagangnya menjadi positif sehingga perekonomiannya menjadi terdongkrak untuk lebih baik lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *