Klik Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi terus memastikan pelaksanaan rekomendasi atas United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Salah satu rekomendasi hasil peninjauan putaran II adalah melanjutkan upaya untuk memperkuat kapasitas lembaga anti-korupsi untuk mencegah korupsi di semua level, terutama level provinsi, kabupaten dan kota.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan salah satu sistem pengawasan yang paling penting saat ini adalah pencegahan di daerah.
“Praktik korupsi di daerah sudah jadi fenomena tersendiri, hingga saat ini Indonesia belum punya pengawasan hingga ke daerah,” kata Syarif.
Sejak enam tahun berlalu dari selesainya peninjauan putaran I UNCAC yang mereview Bab III (Kriminalisasi dan Penegakan Hukum) dan Bab IV (Kerjasama Internasional), Indonesia baru menyelesaikan 8 dari 32 rekomendasi. Dari 24 rekomendasi yang belum diselesaikan, ada beberapa rekomendasi yang membutuhkan komitmen yang kuat dan upaya supremasi hukum yang berkelanjutan dari pemerintah. Rekomendasi tersebut antara lain, revisi Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, UU Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, Undang Undang Perampasan Aset, Undang Undang Ekstradisi dan Undang Undang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
Political will dan keterlibatan parlemen yang memegang fungsi legislasi menduduki peran kunci dalam mengimplementasikan pemerintahan antikorupsi dan mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dalam kaitan dengan tujuan tersebut, wakil rakyat perlu bekerja dalam keselarasan dengan pemerintah di negara-negara pihak UNCAC serta berperan dalam ratifikasi, implementasi, adaptasi ke dalam negeri, serta pemantauan dan pengkajian terhadap UNCAC.
Indonesia juga telah menyelesaikan putaran II review UNCAC dengan fokus kepada Bab II (Pencegahan) dan Bab V (Pemulihan Aset). Review putaran ini menghasilkan 21 rekomendasi, 14 rekomendasi diantaranya pada pencegahan dan 7 rekomendasi untuk pemulihan aset.
Terkait pencegahan, putaran ini merekomendasikan Indonesia untuk meningkatkan transparansi sektor swasta yang sesuai dengan standar Internasional, termasuk keterbukaan Laporan Keuangan Tahun Perusahaan (LKTP) yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Indonesia juga didorong untuk mengatur dalam Undang-Undang tentang larangan pembebanan pengeluaran yang merupakan bentuk suap termasuk pengeluaran – pengeluaran lain yang dikeluarkan sebagai bentuk perpanjangan dari tindakan korupsi sebagai komponen pengurang pajak. Hasil review Bab V Pemulihan Aset lagi-lagi mendorong Indonesia untuk menyelesaikan UU Perampasan Aset dan UU Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
Dalam hal pemenuhan hasil rekomendasi, KPK tidak dapat berjalan sendiri untuk memastikan keterpenuhan target ini. Perlu adanya komitmen, kerjasama, sikap, serta upaya nyata dari pemerintah dan parlemen.
“Tahun 2022, akan ada peninjauan untuk pelaksanaan rekomendasi secara keseluruhan, ini akan memperlihatkan komitmen Indonesia terhadap kesepakatan yang telah diratifikasi,” kata Staf Ahli Kelembagaan, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Diani Sadiawati.
Diani mengatakan, pelaksanaan rekomendasi UNCAC akan menunjukkan komitmen Indonesia terhadap pencegahan korupsi. Soalnya, kata dia, mencegah tetap lebih baik.
Dunia internasional menyepakati bahwa korupsi adalah kejahatan serius yang dapat bersifat lintas negara, Kesepakatan ini kemudian tertuang dalam inisiatif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Officer on Drugs and Crime (UNODC) untuk melaksanakan sebuah perjanjian internasionalUnited Nations Convention against Corruption(UNCAC) yang ditandatangi Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003.
Saat ini, 186 negara termasuk Indonesia telah menjadi Negara Pihak pada UNCAC. Negara Pihak berarti negara tersebut berkomitmen dengan meratifikasi UNCAC ke dalam peraturan domestiknya. Indonesia telah menunjukkan komitmennya kepada Konvensi Anti-Korupsi PBB ini dengan meratifikasi UNCAC melalui UU nomor 7 tahun 2006.
UNCAC meliputi serangkaian panduan bagi negara-negara anggota dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, meliputi upaya pencegahan, perumusan jenis-jenis kejahatan yang termasuk korupsi, proses penegakan hukum, ketentuan kerjasama internasional serta mekanisme pemulihan aset terutama yang bersifat lintas negara. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC secara efektif dapat dianggap sebagai cerminan kuatnya komitmen suatu negara untuk memberantas korupsi, menjalankan tata pemerintahan yang baik dan menegakkan rule of law.
KPK kembali mengajak baik pemerintah dan parlemen untuk berkomitmen secara serius dalam menyelesaikan semua rekomendasi. Salah satunya adalah tugas untuk menyelesaikan revisi UU Tindak Pidana Korupsi. Baik pemerintah dan parlement perlu terus konsisten bahwa delik korupsi adalahextra ordinary crimes dan seriousness crimestidak saja terletak pada modus operandi dan komitmen tegas penegak hukumnya. Justru karakter khusus kejahatan korupsi yang memerlukan rumusan norma hukum pidana dan ancaman pidana yang justru menyimpang dari standar hukum pidana. RUU Tindak Pidana Korupsi juga perlu segera mengadopsi aturan suap pejabat asing, illicit enrichment, suap pada sektor swasta dan trading in influencesebagai salah satu celah yang perlu diisi antara legislasi domestik dengan standar UNCAC.
Pasal 6 dan 36 UNCAC misalnya, mengatur mengenai independensi lembaga anti korupsi untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan bebas dari pengaruh yang tidak semestinya. Review UNCAC mendorong Indonesia menerapkan Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies. Dengan berpijak kepada konvensi anti korupsi ini, jelas bahwa dalam hal ini, Indonesia hanya memiliki 1 opsi. KPK selaku lembaga anti korupsi yang menjalankan mandatnya sesuai yang tertuang dalam UU No 30 tahun 2002, hanya boleh untuk diperkuat, tidak untuk dilemahkan. (Les)