Shadow

Pedagang Kaki Lima yang Terdampak Pandemi Covid-19

Reporter: Krisnia Rahayu

Ibu Aneng Yuningsih adalah seorang pedagang kaki lima yang berjualan makanan di pinggir jalan di daerah Kawasan Peternak Sapi, Jalan KH. Abdul Hamid No. 7, Pasarean, Kecamatan Pamijahan, Bogor. Sudah 8 tahun ibu Aneng menjadi pedagang kaki lima. Ia menjual berbagai menu makanan menu pagi hari dan menu siang hari, yang terdiri dari: nasi kuning, nasi bakar, batagor, seblak campur, seblak dengkul, seblak ceker, otak-otak mercon, tulset pedas mercon, baso pedas mercon, ceker pedas mercon, pangsit pedas mercon, mie jeletot pedas, bakmi, mie tek-tek, kwetiaw goreng, bihun goreng, dan nasi goreng. Makanan ini dijual dengan harga mulai dari Rp. 5000-10000 saja.
Sebelum pandemi untuk penjualan menu siang hari ibu Aneng biasanya buka pukul 10.00 WIB, namun ketika pandemi ibu Aneng buka pukul 13.00 WIB. Untuk menu pagi harinya tetap buka pukul 05.00 WIB. Penjualan makanan pagi hari tidak terlalu terdampak oleh pandemi dibandingkan dengan penjualan menu siang hari. Karena menu pagi hari belum ada yang berjualan di daerah tersebut.
Ibu Aneng mengaku terpaksa menjadi pedagang kaki lima yang berjualan makan di pinggir jalan. Karena tuntutan kebutuhan sehari-hari lah dan juga untuk biaya kuliah anaknya lah ia mau menjadi pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan. Dengan bermodalkan Rp. 300.000 ibu Aneng membuka usahanya.
“Kendalanya dalam berjualan saat ini yaitu karena pandemi, penjualan menjadi sepi pembeli. Biasanya para santri yang pondok pesantrennya dekat dengan warung saya banyak membeli makanan ke sini, tetapi karena tidak diperbolehkan keluar maka para santri tidak membeli makanan saya lagi” jelas bu Aneng pada kami, pada Jumat, 28 Agustus 2020.


Sebelum pandemi ibu Aneng bisa mendapatkan keutungan yang cukup tinggi, bisa melebihi modal penjualan, bahkan bisa mencapai Rp. 800.00-1000.000 per harinya. Namun pada saat pandemi seperti ini ibu Aneng tidak memperoleh keuntungan malah menomboki dalam berjualan makanan yang buka siang hari. Karena tidak laku banyak makanan menu siang hari yang bahan-bahan makanannya terbuang. Makanan yang terbuang inilah yang ditomboki untuk penjualan menu siang hari. Saat pandemi seperti ini jangankan Rp. 200.000 yang rata-rata per hari biasanya didapatkan sebelum pandemi, bahkan Rp. 20.000 saja sulit. Ibu Aneng malah menomboki Rp. 100.000-200.000 per harinya untuk penjualan makanan menu siang hari. Dalam berjualan makanan ini ibu Aneng selalu menggunakan bumbu dan bahan makanan yang segar dan baru. Namun karena penjualan sepi pembeli, bumbu dan bahan makanan banyak yang terbuang.
Untuk mengatasi masalah menomboki penjualan, yang bukannya untung malah buntung ini, ibu Aneng menomboki penjualan dari hasil penjualan makanan menu pagi hari. Menu pagi hari yang terdiri dari nasi kuning dan nasi bakar laris terjual ludes, sehingga keuntungan yang didapat bisa menjadi tambahan makan menu siang hari yang terdiri dari batagor, seblak campur, seblak dengkul, dan lainnya.
Suka duka dalam berjualan selama 8 tahun dalam bu Aneng berjualan yaitu “Sukanya kalau dulu, santri yang diperbolehkan keluar dari pondok pesantren untuk mencari makanan, selam 3 bulan pesan makan pagi-sore. Jadi selalu untung dulu. Dukanya biasanya yang pengajian malam jumat tidak pesen nasi lagi, sekarang tidak ada pengajian, tidak boleh kumpul-kumpul orang, tidak ada yang pesen, biasanya setiap malam jumat ada aja yang pesan nasi 100 box, dari pesanan itu banyak keuntungan, sekarang mah tidak ada” ujar ibu Aneng pada Jumat, 28 Agustus 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *