
Oleh : Muhamad Ageng
_Kasus Dugaan Blendstock Pertamax Oplosan_
*_Resume_*. _Untouchable_, kebijakan produksi dan distribusi BBM masih gelap: _inefficient_ dan diduga penuh permainan, di mana Kementerian ESDM dan Pertamina lebih suka mempertahankan harga tinggi (HPP, harga pokok penjualan) dalam memproduksi dan mendistribusikan BBM yang berkualitas rendah. Kasus dugaan pidana korupsi penyimpangan kualitas BBM (Pertamax blendstock/oplosan) pada PT Pertamina Patra Niaga yang sedang diproses oleh Kejaksaan Agung, mempertegas fakta tentang kasus yang sudah berpuluh tahun dan pernah digugat Citizen Law Suit (Gugatan Warga Negara terhadap Harga dan Mutu BBM) yang didampingi KPBB di PN Jakarta Pusat pada 20 Mei 2013. Pun 2 windu sebelum gugatan tersebut (1996/1997), KPBB sudah meminta pemerintah membuat roadmap pasokan BBM dengan kuantitas memadai dan kualitas yang memenuhi standard teknologi kendaraan rendah emisi. Dampak penyimpangan kualitas BBM ini sangat luas, mulai dari pemborosan BBM, ketidak-sesuaian antar harga dan nilai (kualitas) BBM yang diterima konsumen, kerusakan kendaraan konsumen, peningkatan emisi kendaraan dan hancurnya reputasi apparat negara. Untuk itu, para pelaku tindak pidana dalam kasus ini harus dipidana dengan pemberatan khusus.
—————
1. *Bermula dari Penetapan Harga BBM secara Inkonstitusional*. Pada keseharian, pemerintah menugaskan Pertamina untuk mengadakan dan mendistribusikan BBM ke seluruh wilayah RI dengan patokan harga internasional: MOPS (Mean Oil Platt Singapore). Namun Pertamina hanya menggunakan referensi harga MOPS sebagai patokan penetapan harga BBM sementara kualitasnya tidak setara dengan spesifikasi BBM yang dijadikan patokan penetapan harga tersebut. Manipulasikah ini? Dengan harga internasional tetapi Pertamina mendistribusikan BBM dengan kualitas yang lebih rendah.
Contoh kasusnya adalah distribusi Pertalite 90 yang penetapan harganya berpatokan pada harga Mogas92 yang dikenal sebagai bensin berangka oktan tinggi (RON, Research Octane Number) 92 atau dikenal sebagai HOMC (high octane mogas component). Tentu ini menjadi manipulatif ketika yang didistribusikan adalah bensin dengan angka oktan 90, alias 2 level di bawah angka oktan bensin yang dijadikan sebagai patokan penetapan harga tersebut.
Penetapan harga BBM yang berlaku secara global terdiri atas 3 (tiga) metode, yaitu metode border price, metode Harga Pokok Penjualan (HPP) dan metode Harga Pemerintah. Pertama, metode boarder price adalah penetapan harga BBM mengacu pada harga rata-rata internasional. Penetapan harga BBM di Indonesia yang menggunakan metode border price ini mengacu pada harga BBM eks kilang Singapura (MOPS, Mean of Oil Platts Singapore).
Kedua, metode Harga Pokok Penjualan (HPP) yaitu perhitungan nilai rata-rata biaya produksi BBM. HPP dihitung dengan cara menjumlah keseluruhan komponen biaya pada produksi BBM, biaya angkut dan distribusi BBM hingga ke konsumen. Apabila BBM diperoleh dari impor, maka HPP dihitung berdasarkan harga perolehan di pasar minyak regional ditambah biaya pengiriman dan distribusi hingga ke konsumen.
Ketiga, metode harga Pemerintah. Yaitu harga ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi social ekonomi masyarakat dalam suatu negara setelah mempertimbangkan HPP BBM. Harga Pemerintah ini bisa jadi lebih rendah dari HPP ketika Pemerintah memberikan subsidi BBM kepada rakyat.
Sekalipun terlihat seperti menggunakan motode harga pemerintah, namun sesungguhnya harga BBM di Indonesia ditetapkan berdasar boarder price tanpa transparansi sehingga HPP impor BBM dan atau HPP produksi BBM relatif lebih mahal dan dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan harga dan kualitas BBM di pasar regional Asia Tenggara dan Australia. _*Ini adalah langkah inkonstitusional karena mengabaikan amanat UUD 1945 Pasal 33 sehingga membuka ruang manipulasi kualitas BBM impor.*_
2. *Spesifikasi BBM*. BBM yang dipasarkan di wilayah RI harus memenuhi persyaratan untuk kendaraan berstandard Euro 2/II mulai 1 Januari 2007 dan bahkan untuk bensin harus sesuai dengan Standard Euro 3 mulai 1 Agustus 2013 serta sesuai Standard Euro 4/IV mulai 1 Oktober 2018 . Jika tidak maka akan bertentangan dengan UU 32/2009 tentang PPLH dan PP No 22/2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan regulasi Standard Emisi Kendaraan Tipe Baru, di mana pada regulasi tersebut ditetapkan bahwa sejak 1 Januari 2007 seluruh kendaraan bermotor yang diproduksi dan dipasarkan di wilayah RI harus berstandard Euro 2, seluruh sepeda motor yang diproduksi dan dipasarkan sejak 1 Agustus 2013 harus memenuhi Standard Euro 3 dan seluruh kendaraan roda 4 bensin yang diproduksi dan dipasarkan sejak 1 Oktober 2018 harus berstandard Euro 4/IV.
Konsekuensi dari penerapan Standard Euro 2 maka bahan bakarnya harus memenuhi persyaratan teknologi mesin kendaraan berstandard Euro (2, 3 dan 4 sesuai dengan tenggatnya) terutama Angka Oktan (bensin), Angka Cetan (solar), Kandungan Sulfur, Kandungan Logam pembentuk abu/ash forming (Pb, Mn, Fe), Olefin, Aromatic, Benzene, dll. Sebagian besar parameter telah diatur standarnya pada SNI tetapi ada parameter lain yang set back dari Standard atau specifikasi BBM yang dikeluarkan oleh DIRJEN MIGAS sebelumnya (yaitu Kandungan Sulfur) dan bertentangan dengan kebutuhan teknologi mesin kendaraan berstandard Euro 2, 3 dan 4. Sehingga menyesatkan dan berpotensi _mis-fueling_ bagi pemilik kendaraan bermotor yang kendaraannya telah berstandard Euro 2, 3 dan 4. Penyesatan ini berpotensi melanggar UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
_*Catatan pentingnya adalah bahwa Bensin 90 (Pertalite90), Bio-Solar 48, Pertamax92 dan Dexlite51 adalah jenis-jenis BBM yang tidak memenuhi kualifikasi bagi teknologi berbagai kendaraan*_ yang diproduksi sejak 2007.
3. *Pidana Korupsi Penyimpangan Kualitas BBM*. Pasokan BBM dengan kualitas yang tidak memenuhi kualifikasi teknologi kendaraan bermotor yang diadopsi Indonesia dan telah diatur oleh regulasi adalah pelanggaran pidana. Ketidak-sesuaian antara HPP dan kualitas BBM sebagai tersebut di atas diduga dilandasi oleh motif korupsi. Kasus dugaan pemanfaatan Bensin RON 90 untuk dipasarkan sebagai Bensin RON 92 oleh PT Pertamina Patra Niaga sebagaimana yang sedang diproses Kejaksaan Agung adalah fakta adanya motif korupsi melalui manipulasi kualitas BBM sebagaimana dijelaskan di atas.
Pemasaran Pertamax yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal MIGAS akan berdampak pada kerusakan komponen kendaraan, memicu pemborosan BBM dan peningkatan emisi kendaraan.
Tidak terpenuhinya spesifikasi Pertamax dengan angka oktan kurang dari 92 akan berimplikasi pada kerusakan teknis kendaraan yang ditandai oleh knocking (ngelitik) di mana BBM terbakar (premature) hanya oleh tekanan piston dan bukan akibat dipicu oleh percikan api dari busi. Knocking ini menyebabkan terjadinya pembakaran tidak sempurna yang berdampak pada hilangnya sekitar 20% volume BBM, daya kendaraan tidak optimal, memicu keausan/retakan pada piston, keausan ring piston, merusak seher/batang piston.
Tidak terpenuhinya spesifiksi Pertamax akibat tingginya kadar Sulfur dapat berakibat pada kerusakan sensor dan penyumbatan pada fuel pump, penyumbatan injector, percepatan terjadinya deposit/kerak pada piston, kerusakan fungsi oksidasi pada catalytic converter. Dampak serupa juga diakibatkan oleh tingginya kadar olefin pada Pertamax. Kerusakan fuel pump masal pada mobil pernah terjadi pada Oktober – November 2024, selain juga terjadi pada sepeda motor dan mobil 2010, 2013. Kerugian akibat krusakan fuel pump misalnya memerlukan biaya perbaikan dan penggantian spare part ~Rp 600.000 hingga jutaan Rupiah.
_*Dampak tak terpenuhinya spesifikasi Pertamax di atas berdampak pada kerugian ekonomi, social dan lingkungan hidup.*_ Dampak ekonomi ini dapat bersifat langsung seperti pemborosan BBM, ongkos penggantian spare part yang rusak dll, maupun dampak tidak langsung seperti hilangnya waktu produktif pemilik kendaraan karena harus memperbaiki kendaraan, dampak kesehatan masyarakat akibat peningkatan polusi udara. Kerusakan injektor dapat menyebabkan kerugian akibat keharusan penggantian injektor yang memerlukan biaya kisaran Rp 4 – 30 juta, tergantung merek dan varian kendaraan. Sementara kerugian dampak kesehatan masyarakat akibat emisi kendaraan di DKI Jakarta memakan biaya medis mencapai Rp 51,2 T (KPBB, 2016).
4. *Repetisi Kasus Korupsi Manipulasi Kualitas BBM*. Kasus ini (penyimpangan kualitas BBM) adalah puncak gunung es yang mengindikasikan banyaknya dugaan kasus manipulasi serupa pada manipulasi harga versus kualitas BBM. Untuk itu, harus diusut tuntas dan dihukum berat dengan pemberatan khusus mengingat efek domino dari tindak pidana korupsi ini yang merugikan masyarakat (kerugian ekonomi, pemborosan BBM dan kerusakan kendaraan), keuangan negara serta memicu kerusakan lingkungan hidup akibat penggunaan BBM kotor yang menyebabkan tingginya emisi kendaraan bermotor. Hukuman berat dengan pemberatan khusus ini untuk menciptakan efek jera agar kasus serupa tidak terulang kembali.
Sebagai catatan _*kasus manipulasi kualitas BBM pernah terjadi dengan kasus suap oleh Innospec, Corp dan PT Sugih Interjaya*_ sebagai agennya untuk memperpanjang kontrak dan penggunaaan aditif timbel (Tetra Ethyl Lead) pada 2003. Kasus ini mencuat setelah pada Februari 2010 UK-SFO (Serious Fraud Office; Kantor Anti Korupsi Inggris) memutus bersalah atas tindak pidana suap oleh Innospec Corp melalui agennya PT Sugih Interjaya kepada pajabat di Direktorat Jenderal MIGAS dan Pertamina pada kurun waktu 2003 – 2006. Pengadilan TIPIKOR memutus bersalah 2 orang pejabat Direktorat Jenderal MIGAS, 2 orang pejabat Pertamina dan 2 orang agen pemasok timbel (Tetra Ethyl Lead) pada 2014-2016.
5. *Tindakan Tegas Presiden*. Kini saatnya _*Presiden Prabowo Subiyanto mem-back up*_ temuan dan proses hukum yang sudah dilakukan oleh Kejaksasan Agung sehingga kasus tersebut dapat divonis berat guna menciptakan efek jera penyimpangan kualitas BBM. Saatnya juga _*Presiden Prabowo Subiyanto malakukan pembenahan dengan restrukturisasi harga BBM*_ agar kebijakan harga BBM menjadi transparan, accountable, auditable, terjangkau (affordable) dan berkeadilan (fairness) sehingga praktik penyalahgunaan wewenang dalam menjaga kualitas BBM dapat dicegah.