Shadow

Stigma, Pemahaman yang Berbeda Terhadap ODGJ

Sumber: Freepik.com

Reporter: Mutiara Nur Shafira Aryandhini

ODGJ atau Orang Dengan Gangguan Jiwa ialah seseorang yang mengalami gangguan jiwa atau orang dengan gangguan yang memengaruhi otak dan mengganggu keseimbangan kimiawi. Pengetahuan mengenai ilmu kesehatan mental di Indonesia masih tergolong rendah. Maka dari itu terkadang masyarakat menyebut ODGJ dengan “orang gila”.

Pakaian compang-camping dengan tubuh tidak terurus yang ada di jalanan. Seseorang yang melakukan tindak kriminal. Seseorang yang pergi berobat ke rumah sakit jiwa, biasanya dilabeli sebagai “orang gila”. Padahal, mereka tidak gila seperti yang disebut-sebut. Mereka memiliki gangguan yang menyerang zat kimia di otaknya yang membuatnya sedikit berbeda dengan orang kebanyakan.

Penyebutan “orang gila” merupakan salah satu contoh stigma yang masih melekat kuat di masyarakat. Selain itu, ada banyak stigma yang menghantui para ODGJ yang dapat membuat mereka kesulitan untuk sembuh.

Stigma lain yang meresahkan ialah, para ODGJ merupakan seseorang yang harus dijauhi karena berbahaya. Hal ini disebabkan adanya beberapa tindak kriminal yang dilakukan oleh para ODGJ. Hal tersebut memang tidak dibenarkan, namun, masyarakat tidak bisa mengatakan bahwa penyebab tindakan kriminal itu terjadi dikarenakan gangguannya. Dan lagi, banyak dari ODGJ yang sebenarnya merupakan korban. Akibat stigma yang melekat ini, tak sedikit ODGJ yang diperlakukan tidak adil. Banyak pendapat bahwa ODGJ harus dijauhkan dan dipasung. Tak sedikit pula melakukan kekerasan terhadap ODGJ.

Stigma lain juga datang dari keluarga dan orang terdekat penderita gangguan jiwa. Banyak yang berpikir bahwa apa yang terjadi pada penderita disebabkan oleh hal-hal gaib, seperti diganggu oleh jin. Mereka akhirnya membawa penderita ke pengobatan alternatif dan melakukan serangkaian kegiatan yang sebenarnya tidak menyembuhkan.

Tidak sedikit juga dari kerabat yang berpikir bahwa apa yang menyebabkan gangguan tersebut ialah karena kurang iman, kurang bersyukur, ibadahnya kurang rajin, dan sebagainya. Pemahaman ini dapat membuat penderita akan merasa malu untuk bercerita. Akibatnya dapat membuat penderita tidak ingin mencari atau menerima bantuan.

Selain itu, stigma yang juga disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat ialah apabila penderita gangguan jiwa mengonsumsi obat-obatan, maka akan dikatakan ketergantungan atau kecanduan. Padahal, seorang ODGJ membutuhkan obat untuk dapat tetap menjalani kehidupannya dengan baik. Seharusnya dapat dibedakan antara ketergantungan dengan kebutuhan. Selain itu, bandingkan dengan penderita diabetes atau tekanan darah tinggi yang juga rutin mengonsumsi obat. Yang membedakan hanyalah penyakit fisik dan mental saja.

Dengan adanya stigma, dapat memunculkan self-stigma dari ODGJ itu sendiri. Contohnya seperti ia yang dianggap tidak mampu melakukan apapun hingga membuatnya berpikir bahwa ia benar-benar tidak mampu melakukan banyak hal. Stigma mengenai obat-obatan dapat membuat penderita berhenti berobat karena takut dianggap kecanduan obat.

Sayangnya, stigma yang muncul pun tidak mengenal tingkat pendidikan maupun profesi. Stigma juga diberikan oleh seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi dan berprofesi. Aulia, mendapatkan stigma dari dosen psikologinya yang berpendapat bahwa obat-obatan akan membuat ketergantungan. Selain itu, Fira juga mendapat stigma dari seorang dokter gigi yang beranggapan bahwa gangguan jiwa yang dialaminya disebabkan dengan kurangnya ibadah.

Stigma ini tentu saja berakibat fatal pada keberlangsungan pengobatan yang dijalani para ODGJ. Padahal, gangguan kejiwaan merupakan hal yang dapat menyerang siapa saja. Dengan pengobatan yang tertunda, akan membuat jumlah ODGJ akan terus bertambah, terutama ODGJ tanpa perawatan. Hal ini tentu saja tidak berdampak baik pada perkembangan kesehatan mental di masyarakat. Masyarakat diharapkan tidak memberikan label negatif terhadap penderita gangguan jiwa dan pemerintah diharapkan untuk memberikan edukasi lebih mengenai kesehatan mental yang masih menjadi tabu di masyarakat.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *