Shadow

Pendidikan dan (Krisis) Keteladanan Nasional

Oleh : DR. Fahmy Alaydroes, MM, MEd.

Anggota DPR-RI Fraksi PKS

Keteladanan paling utama dan penting dalam pendidikan, terlebih lagi bila kita hendak membangun karakter. Meniru, melihat contoh kongkrit adalah instrument belajar yang paling elementer. Manusia belajar dengan mudah dan cepat melalui meniru (imitating). Makanya, wajar bila pengajar atau pendidik di sebut ‘guru’ yang di gugu dan ditiru, diyakini dan dipercaya apa yang dilakukan atau disampaikan itu sesuatu yang baik, maka sikap, ucapan dan tindakannya patut ditiru oleh murid.
Meniru atau mencontoh bukan hanya efektif dilakukan oleh anak-anak, bahkan remaja dan orang dewasa pun dapat diajar dan dilatih dengan pendekatan meniru atau melihat contoh. Bahkan, Allah SWT menjadikan perilaku Nabi sebagai Úswatun atau Qudwatun Hasanah, Teladan yang Baik.

Sangat difahami oleh kita, Ki Hajar Dewantara menjadikan Keteladanan sebagai salah satu pilar Pendidikan: Ing Ngarso Sun Tulodho. Fungsi keteladanan sangat penting dalam membina masyarakat untuk berperilaku positif, apalagi bila dikaitkan dengan kultur masyarakat Indonesia yang sangat menghargai dan menghormati tokoh atau pemimpin. Keteladanan menjadi instrumen penting untuk menumbuhkan karakter sebagaimana tujuan pendidikan nasional, yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dalam realitanya, masyarakat menghadapi kenyataan pahit. Kiwari, negeri kita sedang mengalami krisis keteladanan. Zaman besar dipimpin oleh manusia kerdil, menjadi diktum lama yang berlaku kembali. Kesadaran akan pentingnya peran kepemimpinan telah diungkapkan para pendiri bangsa sejak awal kemerdekaan. Bila saja para elite negeri ini menampilkan sikap dan perilaku yang positif seperti jujur, disiplin, pemberani, berjiwa sosial, relijius, nasionalis dan bersemangat dalam menuntut ilmu dan berkarya, sungguh akan memberikan tontonan dan tuntunan yang sarat makna dan pengaruh yang luar biasa bagi masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, sepuluh tahun terakhir ini bangsa kita telah mengalami krisis keteladanan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut institusi paling banyak melakukan korupsi adalah DPR dan DPRD. Jumlahnya dari 2014 hingga 2019 sebanyak 255 anggota DPR dan DPRD yang sudah ditetapkan atau menjadi tersangka. Disusul ekskutif atau pemerintah jumlah tersangkanya, 203 orang yang dilakukan pejabat eselon I, II dan eselon III. Kemudian peringkat ketiga, wali kota, bupati atau wakilnya sebanyak 108 tersangka. Peringkat ke empat, menteri atau kepala K/L sebanyak 27 tersangka. Berikutnya, Hakim 22 tersangka, 20 Gubernur, 7 Jaksa dan Komisioner, 11 Pengacara, 6 korporasi, 4 Duta Besar dan 2 tersangka polisi. Sedang angka korupsi di pihak wwasta, melebihi DPR DPRD sebanyak 258 tersangka serta sebanyak 114 tersangka lainnya.

Ada pejabat Hakim, Bupati, Polisi dan beberapa pejabat lainnya positif menggunakan narkoba. Sepanjang 2019, setidaknya ada 16 artis terperosok ke dalam jurang narkoba. Di awal tahun 2020 sudah terjerat seorang pimpinan KPK yang tertangkap tangan di duga melakukan tindakan tercela, demikian pula 6 artis lainnya terjebak dalam narkoba. Krisis keteladanan juga tampil dalam bentuk cara dan gaya pejabat setingkat menteri atau juru bicara Presiden bernada mengancam, bernada merendahkan, atau bernada marah atau tidak suka menghadapi kritik.

Di masa darurat kesehatan musibah Covid-19 yang memberatkan kehidupan sosial dan ekonomi lebih dari seratus rakyat Indonesia, staff khusus Presiden dari kalangan milineal malah ‘terjebak’ dalam pusaran aji-mumpung memanfaatkan proyek tanggap darurat, mengambil porsi anggaran Negara ratusan milyar untuk dinikmati perusahaannya.?!.

Fungsi keteladanan yang paling mendesak dan memiliki pengaruh luas, justru ada dalam sosok pemimpin negeri ini, yaitu Presiden. Sikap dan perilaku Presiden RI, tentu saja menjadi fokus perhatian dan pencermatan hampir seluruh media dan pada gilirannya dikenali dan diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Daya pengaruh dan daya dorong Presiden dalam menggerakkan dan menggalang perilaku positif dan disiplin nasional sangatlah kuat. Diperlukan sosok Presiden yang memiliki kewibawaan, integritas dan sikap serta perilaku yang negarawan, membela kepentingan masyarakat luas dan bertindak adil serta bijaksana. Presiden yang juga bersih dari berbagai kasus hukum, menjunjung tinggi moralitas dan kesantunan. Keteladanan pimpinan negara juga dituntut sampai kepada keluarga mereka; terutama isteri dan anak-anak serta menantu. Mereka harus menampilkan diri sebagai keluarga Presiden yang bersahaja, merakyat dan bersahabat.

Sehebat apapun kebijakan dan rumusan pendidikan nasional, bila miskin keteladanan dari para pemimpin negeri, para pejabat dan figur publik, jangan berharap akan efektif pencapaian tujuan pendidikan nasional. Inti dari pendidikan adalah proses membina adab, membina akhlak. Mari kita tunjukkan kepada anak-anak didik kita, kepada putera-puteri bangsa bahywa kita layak menjadi guru mereka. Selamat Hari Pendidikan Nasional. !

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *