KlikJakarta – Ada tiga hal penting dalam perlindungan perempuan penyandang disabilitas di tanah air yang sangat relevan untuk didalami sehingga semua pemangku kepentingan dapat berangkat dari pemahaman yang sama dalam mengupayakan Indonesia yang inklusif ke depannya.
Tiga unsur itu yakni kerangka regulasi terkait perlindungan perempuan penyandang disabilitas, tantangan atas perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas dan peta jalan perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas ke depan.
Demikian disampaikan Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani dalam seminar bertajuk ‘Peta Jalan Perlindungan Perempuan Penyandang Disabilitas (P3D), di Jakarta, Kamis (19/9/2019).
“Apabila kita menelusuri jejak perangkat hukum, baik pada tatanan hukum internasional maupun hukum nasional, dan bertanya apakah ada kewajiban bagi negara untuk melindungi perempuan penyandang disabilitas? Maka jawabannya adalah tunggal, jawabannya adalah iya, negara memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas,” tegas Jaleswari.
Dalam kacamata hukum internasional, Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang sudah diratifikasi Indonesia, berbagai pasalnya menekankan berbagai prinsip yang mewajibkan negara untuk memberikan perhatian khusus bagi perempuan penyandang disabilitas.
Mulai dari prinsip kesetaraan, hingga pengakuan atas adanya potensi diskriminasi berlapis (multiple discrimination) terhadap perempuan penyandang disabilitas.
Kemudian berangkat menuju hukum nasional. Konstitusi kita menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, termasuk penyandang disabilitas, lebih khusus lagi perempuan penyandang disabilitas.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2016 dielaborasikan juga hak bagi perempuan penyandang disabilitas untuk mendapatkan perlindungan hukum yang lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis dan dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.
“Sehingga terang bahwa secara normatif hukum, perlindungan perempuan penyandang disabilitas sudah menjadi hak asasi manusia,” ungkap Jaleswari.
Meskipun demikian, perlu juga disadari bahwa kerangka hukum sebagai cita-cita (das sollen) tidak selalu berjalan tegak lurus dan beriringan dengan dinamika yang terjadi di masyarakat (das sein).
Tantangan Atas Perlindungan
Menurut Jaleswari, masih segar dalam memori kolektif kita bersama tentang peristiwa yang menimpa dokter gigi Romi Syofpa Ismael yang sempat mendapatkan kendala dalam upayanya menjadi seorang PNS di Kabupaten Solok Selatan.
Kondisi demikian direspon oleh koordinasi lintas kementerian dan pemerintah provinsi yang bergerak dengan berlandaskan pada prinsip kesetaraan yang sudah dari awal dikemukakan oleh Presiden Jokowi lewat Nawa Cita sehingga yang bersangkutan dapat dipulihkan haknya untuk menjadi seorang PNS.
Merefleksikan pada peristiwa tersebut, terdapat satu pekerjaan rumah bersama yang hingga saat ini masih menjadi tantangan besar dalam memastikan perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas, yakni masih kurang optimalnya upaya pengarusutamaan hak perempuan penyandang disabilitas ke seluruh lini pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, daerah, serta pihak swasta.
Dalam hal ini, masih terdapat pemahaman yang belum seragam atas hak penyandang disabilitas di berbagai lapisan pemangku kepentingan sebagaimana sudah dijamin dalam berbagai regulasi nasional maupun internasional. Hal demikian tentu berimplikasi pada kecepatan serta keakuratan negara sebagai duty bearer dalam kerangka instrumen HAM untuk merealisasikan dan melindungi hak-hak perempuan penyandang disabilitas.
Peta Jalan ke Depan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) di berbagai kesempatan telah mengemukakan bahwa paradigma terhadap kaum disabilitas sudah harus berubah. Tidak bisa lagi dengan paradigma bantuan sosial, paradigma kedermawanan. Paradigmanya haruslah menuju paradigma pemenuhan hak, paradigma HAM.
Selain itu, Presiden Jokowi juga telah menggarisbawahi bahwa kesetaraan harus menjadi prinsip utama dalam menjamin hak penyandang disabilitas. Presiden memberikan contoh misalnya dengan pemberian bonus yang sama antara atlet Asian Games dengan atlet Asian Para Games.
Dua prinisip yang diarahkan Presiden Jokowi, yakni pemenuhan hak serta kesetaraan, telah menjadi sikap politik presiden dalam menjamin perlindungan bagi perempuan penyandang disabilitas. Rangkaian peraturan pun sudah ditandatangani Presiden untuk mengejawantahkan sikap politik Presiden tersebut, mulai dari Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015, hingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Untuk mengoperasionalisasikan sikap politik dan regulasi yang dikeluarkan oleh Presiden tersebut, ke depan, pengembangan statistik yang inklusif penyandang disabilitas menjadi sangat relevan untuk dimiliki sehingga arah kebijakan perlindungan penyandang disabilitas kita akan berbasis data.
Selain itu, sistem informasi, edukasi, pengaduan, pendampingan, pemulihan dan pemberdayaan yang komprehensif, terintegrasi dan berkelanjutan perlu dibangun mengingat berbagai kajian menyebutkan bahwa sebagian besar perempuan penyandang disabilitas tidak mampu melakukan perlawanan ketika mendapatkan perlakuan diskriminasi.
“Kita sadar betul, bahwa proses yang sedang kita kerjakan secara paralel ini membutuhkan kerjasama lintas sektor. Untuk itu, secara khusus kita patut memberikan apresiasi terhadap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang selama ini juga aktif bersama KSP mengawal arahan dan komitmen Presiden Joko Widodo terkait perlindungan perempuan penyandang disabilitas,” papar Jaleswari.
Ditekankan, negara punya tanggungjawab bersama untuk memastikan hak-hak mereka dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.
“Dalam konteks peta jalan Perlindungan Perempuan Penyandang Disabilitas, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, ke depan, mari kita semua berkolaborasi untuk membangun upaya pencegahan, penanganan, pemulihan dan pemberdayaan perempuan dengan beragam disabilitas,” pungkasnya. (ksp/nbh)