Klik Bali – Penerapan konsep Blue Economy (Ekonomi Biru) akan semakin memperkuat pengelolaan potensi akuakultur secara berkelanjutan, produktif dan berwawasan lingkungan. Pendekatan Blue Economy juga akan mendorong pengelolaan perikanan budidaya secara efisien melalui kreativitas dan inovasi teknologi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) berharap gagasan Blue Economy yang diterjemahkan sebagai pembangunan ramah lingkungan berkelanjutan dapat memberikan hasil yang optimal dan sumberdaya yang memberikan nilai tambah.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, pada kegiatan Ocean Our Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua Bali, Selasa (30/10), menyampaikan bahwa konsep Blue Economy mengajarkan bagaimana menciptakan produk nir-limbah (zero waste), sekaligus dapat menjawab tantangan kerentanan pangan melalui peningkatan produksi ikan, serta berkontribusi dalam peningkatan devisa negara melalui peningkatan volum dan nilai ekspor komoditas akuakultur. Selain itu, mempunyai peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dan menciptakan lapangan pekerjaan.
“Melalui konsep Blue Economy Akuakultur kita akan dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan, karena sistem ekonomi konvensional sudah tidak mampu menyerap konsep hakiki pembangunan berkelanjutan”, jelas Slamet.
Sesuai dengan visi misi KKP yaitu pengembangan kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat diantaranya adalah dengan pengembangan kawasan ekonomi dengan pendekatan Blue Economy.
Lanjut Slamet, sistem Blue Economy dinilai mampu mendorong industrialisasi kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dengan pendekatan yang ramah lingkungan dan efisien.
“Prinsipnya Blue Economy bukan hanya environmental friendly, tapi multiple cash flow artinya ada keuntungan berlipat secara ekonomi karena limbah bisa jadi nilai ekonomi untuk menghasilkan produk lain, selain itu Blue Economy harus dapat memperdayakan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja (sosial inklusif)”, tegas Slamet.
Slamet menjelaskan bahwa tantangan akuakultur saat ini yaitu bagaimana mencukupi kebutuhan pangan masyarakat dunia ditengah permasalahan penurunan daya dukung lingkungan dan perubahan iklim global. FAO mencatat hingga tahun 2050 penduduk dunia akan mencapai 9,7 milyar jiwa yang menuntut adanya kebercukupan pangan secara berkelanjutan. Disisi lain FAO juga mempediksi hingga tahun 2030, kontribusi akuakultur terhadap kebutuhan perikanan dunia diperkirakan akan mencapai 58%.
“Aplikasi konsep Blue Economy akuakultur sangat berperan penting dalam pembangunan nasional yang diharapkan menjadi basis utama dalam membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional, serta menjadi penghela pertumbuhan ekonomi dan memberikan porsi besar bagi peran pemberdayaan masyarakat’, jelasnya kembali.
Aplikasi Teknologi Akuakultur Berbasis Blue Economy
Blue Economy merupakan dinamika pemikiran konsep pembangunan terbaru yang sedang berkembang dengan berlandaskan pada tiga pilar terintegrasi yaitu ekologi, ekonomi dan sosial.
Pada kesempatan tersebut, Slamet juga menjelaskan berbagai inovasi teknologi akuakultur berbasis Blue Economy yang telah dikembangkan oleh KKP, antaranya pengembangan teknologi bioflok, sistem minapadi, penerapan recirculating aquaculture system (RAS) serta budidaya rumput laut hasil kultur jaringan.
Slamet memaparkan, pengembangan teknologi bioflok memungkinkan peningkatan produktivitas sebesar 50 – 90 kg/m3, ramah lingkungan, efisien dalam penggunaan lahan dan sumberdaya air hingga 80%. Sedangkan dari aspek sosial-ekonomi, penerapan teknologi ini dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan dan meningkatkan konsumsi ikan nasional.
Kemudian, pengembangan minapadi mampu meningkatjan produksi padi dari 5 – 6 ton/ha/panen menjadi 8 – 10 ton/ha/panen dengan efisiensi pemanfaatan lahan padi hingga 80%, serta menghasilkan padi bebas pestisida (organik) karena pupuk yang digunakan berasal dari sisa metabolisme ikan.
Penerapan RAS pada kegiatan budidaya mampu menggenjot produktivitas hingga 100 kali lipat, efisien dalam penggunaan air dan lahan hingga 80%, mudah dalam manajemen kualitas air dan dapat dilakukan sepanjang tahun karena pergantian air yang minim.
Sedangkan budidaya rumput laut hasil kultur jaringan memberikan keuntungan dalam menghasilkan rumput laut berkualitas serta dapat dilakukan secara terus menerus (kontinu) dalam skala massal dengan waktu yang relatif singkat. Teknologi kultur jaringan ini mampu menyediakan bibit rumput laut secara kontinu serta tidak tergantung kondisi alam. Berapa penelitian juga menyatakan bahwa rumput laut berpotensi sebagai penyerap karbon dioksida di udara (carbon sink).
“Inovasi-inovasi teknologi semacam inilah yang akan terus kita dorong dan diaplikasikan di masyarakat secara masif, sehingga sektor akuakultur dapat menjadi motor penggerak perekonomian”, tambah Slamet.
Pada momentum OOC tersebut, Slamet kembali menegaskan komitmen pengembangan perikanan budidaya berbasis teknologi berkelanjutan.
“KKP sudah berkomitmen untuk berinvestasi dalam dua program. Pertama adalah pengembangan budidaya ikan sistem minapadi dari tahun 2015 – 2019 sebanyak 3 juta USD untuk 963 hektar lahan di Indonesia, kemudian kedua pengembangan kultur jaringan rumput laut jenis Eucheuma cottonii tahun 2015 – 2019 sebanyak 1,3 ribu USD secara berlanjutan”, tegas Slamet.
Pembangunan perikanan budidaya telah berjalan dengan sangat cepat seiring dengan semakin berkembangnya teknologi pembudidayaan ikan yang semakin maju dan semakin efisien, didorong juga oleh Upaya Percepatan Pembangunan Industru Perikanan Nasional yang tertuang dalam Inpres No. 7 tahun 2016, demi untuk menjaga harmonisasi antara pemanfaatan sumberdaya alam untuk peningkatan produksi dan terjaminnya keberlanjutan usaha perikanan budidaya.