Klik Jakarta – Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag terus mempersiapkan diri menjalankan amanah UU No 34 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Saat ini, BPJPH tengah menunggu ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) terkait pelaksanan UU 34 tahun 2014. Kepala BPJPH Sukoso mengatakan, pembahasan PP sudah final tinggal menunggu paraf dari menteri terkait sebelum ditandatangani Presiden.
“Menag Lukman sudah memberikan paraf. Tinggal menunggu menteri lainnya dan kemudian PP ditandatangani Presiden untuk diundangkan,” jelas Sukoso di Jakarta, Jumat (30/11).
Persiapan BPJPH
Dalam proses itu, Sukoso memastikan pihaknya terus bersiap. Sejumlah langkah sudah dan sedang dilakukan. Pertama, menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pembentukan BPJPH sebagai struktur eselon I baru di bawah Menteri Agama. Perpres ini menandai terbentuknya BPJPH sejak 2016.
Kedua, menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama. Berdasarkan PMA ini, BPJPH menjadi struktur baru setingkat eselon I di Kementerian Agama yang dipimpin seorang Kepala Badan. Dalam menjalankan tugas, Kepala BPJPH dibantu empat pejabat setingkat eselon II, 10 pejabat setingkat eselon III, dan 27 pejabat setingkat eselon IV.
“Seluruh perangkat struktural ini sudah terisi. Kami sudah mulai bekerja bersama sejak Oktober 2016,” jelas Sukoso.
Ketiga, saat ini BPJPH tengah memfinalkan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA), sekaligus Rancangan Keputusan Menteri Agama (RPMA/RKMA) terkait pelaksanaan Undang-Undang dan RPP JPH. “Semua dalam proses penyelesaian perumusan draf naskahnya, sudah hampir final,” tandasnya.
Keempat, hal lain yang menjadi target penyelesaian BPJPH dalam waktu dekat adalah finalisasi regulasi penetapan tarif dan penyusunan daftar rincian tarif layanan BPJPH melalui mekanisme Badan Layanan Umum (BLU). Menurut Sukoso, BPJPH telah selesai dalam penyiapan dokumen untuk menjadi Satker BLU. BPJPH dinyatakan lulus dalam uji satker BLU di Kementerian Keuangan pada September 2018.
“Oleh Kementerian Keuangan, BPJPH ditargetkan pada Januari 2019 sudah melaksanakan pola pengelolaan keuangan secara BLU,” jelasnya.
Kelima, bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Biro Ortala Kementerian Agama, BPJPH secara intensif menyusun pembentukan struktur perwakilan di seluruh provinsi. Termasuk juga penyiapan sistem aplikasi dan informasi manajemen halal yang memadai dalam hal fasilitasi penyelenggaraan jaminan produk halal.
Keenam, menjalin sinergi dengan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) Bappenas dan Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia dalam upaya pengembangan industri halal untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.
“Penyusunan dan perumusan draf MoU dan PKS dengan Kementerian/Lembaga juga tengah dalam proses untuk dapat mencapai kesepakatan bersama,” tambahnya.
Sukoso menegaskan bahwa BPJPH adalah lembaga yang memberikan jaminan hak asasi kehidupan beragama bagi umat Islam Indonesia, utamanya terkait produk halal. Melalui BPJPH, negara bukan melakukan diskriminasi pada produk yang tidak berlabel halal, namun justru hadir dalam memberikan kepercayaan kepada publik. Ini penting, kata Sukoso, karena tidak kurang dari 75% barang konsumtif di Indonesia berasal dari impor.
Amandemen Pasal 65
Disinggung soal munculnya usulan amandemen terhadap Pasal 65 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang berbunyi “Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”, Sukoso merasa itu tidak perlu dilakukan. Terlebih dia optimis PP JPH akan segera terbit.
Guru Besar Unibraw ini melihat bahwa sebuah undang-undang memang lazimnya ditindaklanjuti oleh peraturan pelaksana di bawahnya. Namun, realita hukum yang berkembang di Indonesia, tidak sedikit juga undang-undang yang tidak serta merta pada kurun waktu tertentu yang ditetapkan undang-undang tersebut, langsung didukung oleh peraturan perundang-undangan lain sebagai peraturan pelaksananya.
Memang benar ada keterlambatan penerbitan PP terkait UU JPH. Namun, menurut Sukoso, itu tidak serta merta menjadikan peraturan ini kedaluwarsa. Sebab, pengaturan jangka waktu tersebut pada hakikatnya bertujuan mempercepat proses, bukan untuk membatalkan keberlakuan pasal tersebut.
Di samping itu, kata Sukoso, tidak dikenal istilah ‘kedaluwarsa’ dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana berlakunya asas
Presumptio Justae Causa. Keputusan (pengaturan) pemerintah tetap berlaku/dianggap sah sampai dengan dicabut atau dibatalkan.
Begitupun jika dikaitkan dengan prinsip negara hukum, yaitu asas wetmatigheid van bestuur. Pemerintahan berdasarkan undang-undang masih menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan. Maka, prinsip tindakan hukum administrasi pemerintahan bersifat sepihak adalah hal yang utama.
Sukoso berharap PP JPH segera diparaf oleh semua menteri terkait sehingga bisa segera disampaikan ke Presiden.