Shadow

Jelang Imlek, Yuk Intip Sejarah Budaya Etnis Tionghoa dari Zaman ke Zaman

Klik Jakarta – Lokasi Masjid Jami hanya berjarak tak lebih 100 meter dari Kelenteng Boen Tek Bio. Ini berarti lokasi masjid itu juga di kawasan Pecinan. Apa maknanya? Jelas di masa lalu bukan hanya telah berlangsung proses alkulturasi budaya, melainkan bahkan telah terbangun interaksi sosial keagamaan yang harmonis dan toleran.

Anda tentu tahu kecap bermerek ‘Bangau’ bukan? Jauh hari sebelum produk olahan dari kedelai hitam yang difermentasikan ini diambil alih oleh Unilever Indonesia Tbk, kecap ini dikenal dengan nama ‘Kecap Benteng’. Sebelum meraksasa, kecap ini merupakan produk sebuah industri rumah tangga yang didirikan oleh Tjoa Pit pada 1928.

Bicara Kecap Benteng sebenarnya tentu bukan hanya Bangau. Bahkan tak sedikit kecap yang ditengarai berumur lebih tua daripada produksi Tjoa Pit itu, dan nisbi juga lebih ikonik dan legendaris. Sebutlah misalnya kecap bermerek ‘Siong Hin’—atau yang tersohor dengan sebuatan kecap Benteng cap SH—berdiri sejak 1920 atau hampir berumur satu abad. Juga masih ada kecap dengan merek lain yaitu ‘Teng Giok Seng’ yang bahkan berdiri sejak 1882.

Kedua pabrik yang hanya berjarak 300-an meter ini jadi penanda geliat ekonomi warga China benteng di kota tersebut, di mana corak arsitektur kedua bangunan ini sekaligus menjelaskan dari zaman apa mereka berasal. Ya, lokasi kedua pabrik ini juga hanya berjarak satu kilometer dari sebuah pasar yang kini dikenal dengan nama ‘Pasar Lama’.

Sedangkan bicara sejarah Kecap Benteng, Pasar Lama, atau bahkan Tangerang itu sendiri, tentu saja tidak pernah bisa dilepaskan dari sejarah keberadaan masyarakat etnis Tionghoa, khususnya mereka yang kini disebut sebagai ‘Cina Benteng’. Secara definitif, Cina Benteng dikenal sebagai komunitas Tionghoa Peranakan yang secara historis menetap di daerah Tangerang dan sekitarnya (Witanto, 2005).

Kecap Benteng. Sumber foto: Dok tangerangkota.go.id

Menurut penelitian Muhammad Reza Zaini (2014), istilah Tangerang sendiri diyakini berasal dari kata ‘Tang-Lan’ dari dialek Hokkien. Tang adalah sebutan bagi suku-suku yang berada di bagian selatan Tiongkok, untuk membedakan diri dengan suku Han yang berasal dari sebelah utara.

Dari sumber lain muncul tafsiran berbeda. Mengutip profil kota di situs Pemkot Tangerang, sejarah lahirnya Tangerang disebutkan berawal dari sebutan untuk sebuah tugu. Tugu yang didirikan oleh Pangerang Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten, berfungsi tugu sebagai penanda pembagian wilayah antara Kesultanan Banten di sebelah barat dan pihak VOC Belanda yang datang pada abad ke-17 di sebelah timur sungai Cisadane.

Tugu itu terletak di bagian Barat Sungai Cisadane, kini diyakini berada di Kampung Gerendeng. Oleh masyarakat setempat, bangunan tugu tersebut disebut ‘tengger’ atau ‘tetengger‘ yang dalam bahasa Sunda berarti tanda atau penanda. Dari sanalah nama Tangerang kemudian muncul terbentuk.

Sejarah Komunitas

Sejarah menunjukkan, kedatangan pemukim etnis Tionghoa di Tangerang dan Banten, setidaknya dapat dirunut hingga abad ke-16 atau bahkan jauh sebelum itu. Cornelis de Houtman, penjelajah samudra dari Belanda yang pertama mendarat di sekitar Banten pada 1595, sudah menemukan permukiman tua Tionghoa di sekitar wilayah itu.

Tercatat dalam ‘Tina Layang Parahyang’ yang artinya ‘Catatan dari Parahyang, disebutkan bahwa komunitas etnis Tionghoa ini telah menempati kawasan ini sejak awal abad ke-15. Alkisah, pada 1407 kapal rombongan Tjen Tjie Lung atau Halung, saudagar China dari wilayah Fukkien, hampir sampai di pelabuhan Jayakarta pada 1407. Tapi kapal mereka rusak hingga harus berlabuh di muara Sungai Cisadane atau Kampung Teluk Naga kini.

Saat itu daerah itu ialah daerah kekuasaan Sunda Pajajaran. Tjen, ditemani sembilan gadis, lantas menghadap penguasa setempat, Sanghyang Anggalarang, mereka meminta bantuan. Saat menghadap penguasa Pajajaran, Tjen beroleh tawaran sebidang tanah asalkan dia mengizinkan gadis bawaannya menjadi istri penguasa setempat.

Menerima tawaran itu, Tjen memperoleh sebidang tanah di sebelah timur sungai Cisadane. Kemudian rombongan ini tinggal di sini dan menikahi perempuan setempat. Kawin-mawin selama beberapa puluh tahun. Ini menjadi gelombang awal pemukim etnis Tionghoa di Tangerang.

Dari pernikahan keluarga kerajaan Pejajaran dengan sembilan etnis Tionghoa plus perkawinan etnis Tionghoa dengan warga setempat inilah cikal bakal peranakan Cina Benteng. Demikianlah cerita asal-muasal komunitas Cina Benteng, yang secara antropologi memperlihatkan lazimnya fenomena amalgamasi, di mana perkawinan antaretnis atau bahkan bangsa yang berbeda telah menjadi jamak.

Sedangkan gelombang kedua kedatangan etnis Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa huru-hara warga Tionghoa di Batavia, yang direspons oleh VOC dengan represi besar-besaran sehingga berujung pada peristiwa pembantaian. Peristiwa yang dikenal dengan istilah ‘Geger Pecinan’ atau ‘Tragedi Angke” ini terjadi pada 1740.

Pascatragedi berdarah itu, banyak Tionghoa pergi menyelamatkan diri ke Tangerang dan sekitarnya. VOC juga mengeluarkan kebijakan untuk mengirimkan sisa-sisa orang Tionghoa di Batavia ke Tangerang untuk bertani.

Konon, istilah penamaan Benteng sendiri berasal dari cara komunitas Tionghoa menyebut wilayah Tangerang dengan nama ‘Boen-Teng’. Berawal dari sebutan itulah mereka kemudian dijuluki Cina Boen Teng. Julukan itu lama-kelamaan berubah menjadi Cina Benteng.

Namun ada tafsiran lain. Nama Benteng merujuk pada keberadaan dua kubu pertahanan (fortress) atau benteng, yang dulunya berada di tepi Sungai Cisadane dalam posisi berhadap-hadapan. Di sisi sebelah timur sungai dibangun oleh VOC, sedangkan di sisi sebelah barat dibangun oleh Kasultanan Banten. Dari sanalah muncul istilah Benteng sebagai nama daerah itu, dan akhirnya komunitas Tionghoa pun disebut berdasarkan tempat tinggalnya: Cina Benteng.

Cina Benteng merupakan komunitas Tionghoa yang memiliki keunikan tersendiri. Berbeda dari etnis Tionghoa peranakan umumnya, karena kawin campur antaretnis maka kulit mereka cenderung lebih gelap dan matanya pun jauh dari sipit. Nenek moyangnya etnis Tionghoa-Hokkian yang datang ke Tangerang dan tinggal turun temurun di kawasan Pasar Lama. Kawasan Pasar Lama—atau Jl  Ki  Samaun kini—merupakan lokasi pemukiman pertama komunitas ini.

Menariknya, mayoritas dari mereka boleh dikata menjalani kehidupan sebagai pedagang kecil, petani, buruh informal, atau pencari ikan di pinggir kali. Menyimak dari dekat ke sana akan terasa sekali proses alkulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lokal sehingga memunculkan budaya peranakan.

Situs-situs Bersejarah

Laiknya Kota Tua, tentu banyak hal menarik dapat disimak dari Kota Lama ini. Bukan hanya terdapat banyak situs bangunan tua, lebih dari itu di kota ini juga terpotret buah eksperimen interaksi antaretnis yang nisbi sudah berjalan panjang dan harmonis antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya, termasuk penduduk setempat.

Museum Benteng Heritage. Sumber foto: Dok Wisata Jakarta

Di kawasan Kota Lama yang luasnya kurang lebih 30 hektar itu terdapat beberapa situs cagar budaya, antara lain, Kelenteng Boen Tek Bio, Rumah Arsitektur Cina (Museum Benteng Heritage), Masjid Jami, dan Makam Kalipasir. Keempat situs bersejarah ini plus bangunan Stasiun Kereta Api kini telah ditetapkan oleh BP3 Serang (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) sebagai berstatus cagar budaya.

Kelenteng Boen Tek Bio diperkirakan didirikan pada 1684. Boen (sastra) Tek (kebajikan) Bio (tempat) yang memiliki arti—merujuk tuturan Oey Tjin Eng atau yang akrab disapa Engkong Tjin Eng seperti dikutip komunitashistoria.com—tempat berkumpulnya orang-orang intelektual untuk melakukan kebajikan. Boen Tek Bio sendiri baru diresmikan menjadi kelenteng sekaligus perkumpulan keagamaan sejak 12 Januari 1912.

Benar, mengingat usianya yang lebih dari tigaratus tahun, kelenteng ini tentu telah mengalami beberapa kali renovasi. Bentuk awal kelenteng Boen Tek Bio diperkirakan masih sangat sederhana, yaitu sekadar berupa tiang bambu dan atap rumbia. Barulah di awal abad ke-19, kelenteng Boen Tek Bio ini dibangun menjadi bangunan sebagaimana sekarang. Originalitas bangunan ini terutama tampak dari kerumitan ornamen kayu dan perabot kuno kelenteng ini mengesankan telah mengarungi waktu nisbi lama.

Museum Benteng Heritage. Sumber foto: Istimewa

Museum Benteng Heritage adalah sebuah rumah bergaya arsitektur China berlokasi di Jl Cilame No.20, Pasar Lama. Bangunan yang dibangun sekitar abad ke-17 ini telah direstorasi sedemikian rupa dengan mempertahankan bentuk aslinya di masa lalu. Sebelumnya bangunan ini berfungsi sebagai rumah tinggal, yang telah diwariskan secara turun-temurun hingga 8 keturunan.

Atas usaha tak kenal lelah dari Udaya Halim, bangunan rumah itu kemudian diubahnya menjadi Museum dan diresmikan pada 11 November 2011. Berbagai macam artefak dan hal-hal unik yang merupakan bagian dari budaya dan sejarah kehidupan etnis Tionghoa tersimpan di museum tersebut.

Tak kecuali keberadaan Masjid Jami dan Makam Kalipasir yang berada di lingkungan depan masjid, tentu patut dicatat di sini, baik aspek historis maupun antropologisnya. Apa pasalnya? Selain tercatat dibangun oleh Tumenggung Pamitrwidjaja pada kisaran 1640-1700, menariknya desain masjid ini bergaya hibrida yaitu campuran gaya Arab, Tionghoa dan Eropa. Konon, pembangunan masjid sendiri dilakukan oleh warga muslim sekitar dan dibantu oleh warga Tionghoa.

Sudah tentu masjid ini sudah berkali-kali direnovasi. Namun demikian, masjid ini masih menyisakan dua sisi arsitektur yang masih tetap utuh dipertahankan, yaitu empat tiang atau dalam bahasa Jawa ‘saka kayu’di dalam masjid dan kubah kecil bermotif ChinaSaka kayu itu kini tampak mulai keropos sehingga harus disanggah dengan sejumlah besi.

Masjid Jami Kalipasir. Sumber foto: Dok Wisata Jakarta

Menariknya lagi, lokasi masjid ini hanya berjarak tak lebih 100-an meter dari lokasi Kelenteng Boen Tek Bio. Ini berarti lokasi masjid juga berada di kawasan Pecinan. Kedekatan lokasi antara Masjid Jami dan Kelenteng Boen Tek Bio membuktikan, bukan hanya telah berlangsung proses alkulturasi budaya di antara etnis Tionghoa dengan masyarakat lokal, melainkan bahkan telah terbangunan interaksi sosial keagamaan yang harmonis dan tolerans di masa lalu.

Warga Kalipasir memiliki tradisi memperingati Maulid Nabi Muhammad yang unik. Tak hanya dilakukan pengajian, tetapi juga melakukan ‘kirab perahu’. Tradisi kirab miniatur perahu ini telah berlangsung sejak tahun 1939-an. Dan hampir setiap tahun tradisi ini dilakukan oleh warga  secara turun-temurun.

Juga menarik dicatat di sini. Hingga saat ini sekiranya umat Islam tengah merayakan Idul Fitri atau Idul Adha, maka warga sekitar bahkan para pengurus Kelenteng Boen Tek Bio biasa ikut membantu, misalnya turut mengawasi keamanan setempat atau mengatur lalu lintas dan parkir kendaraan. Tak kecuali sebaliknya, ketika ada perayaan besar di Kelenteng Boen Tek Bio, umat dan pengurus Masjid Jami segera bergantian mengambil peran yang sama.

Bicara makam di sekitar Masjid Jami, terdapat kuburan tokoh-tokoh sejarah. Sebutlah misalnya makam bupati Tangerang pertama, Raden Ahyat Pena. Di areal ini juga terdapat 11 makam tertua, 3 makam dari trah Kerajaan Padjajaran dan 6 makam trah Kerajaan Sumedang, termasuk makam raja terakhirnya, yaitu Pangeran Geusan Ulun. Tak kecuali istri Sultan Agung Tirtayasa, Nyi Raden Uria Negara. Pun patut disebutkan turut disemayamkan tokoh perempuan yang aktif di PMI dan ikut perang gerilya, Nyi Raden Juhariah.

Masyarakat etnik Tionghoa yang bermukim di kawasan Pasar Lama hingga kini masih menjalankan sejumlah tradisi leluhur mereka dari China. Perayaan Tahun Baru Imlek yang juga disebut ‘Festival Musim Semi’ adalah pesta rakyat yang paling utama dalam almanak Tionghoa. Ada banyak sekali makanan yang disediakan dalam ritual ini. Di antaranya yang paling terkenal dan khas ialah dodol China atau yang terkenal disebut ‘kue keranjang’.

Kue Keranjang Kue Keranjang Imlek. Sumber foto: Istimewa

Di Tiongkok sana, kue ini selain merupakan salah satu makanan simpanan di musim dingin juga merupakan piranti sajian yang umumnya diletakkan di meja abu. Bersamaan dengan pembakaran dupa, kue keranjang ini disusun bertingkat dalam jumlah ganjil untuk dipersembahkan kepada leluhur dan dewa.

Sudah tentu kue keranjang hadir dalam perayaan Imlek yang dilakukan masyarakat Cina Benteng. Namun demikian kue keranjang tidaklah diproduksi setiap saat sebagaimana kecap Benteng. Kue ini hanya diproduksi saat menjelang perayaan Tahun Baru Imlek.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *